Aku Tau Kenapa Aku Tidak Pandai Bertukar Suara

Di dalam ruang yang disebut kamar yang telah kutinggali hampir separuh hidupku, di sanalah aku bertukar suara dengan benakku yang lainnya. Di dalam ruang yang luasnya hanya cukup untuk aku seorang saja itulah aku bersembunyi dari gertakan ayah di kamar bawah. Ayah adalah seorang pria yang kasar, aku tahu itu sejak ingatan pertamaku di dunia. Ayah bukanlah seorang yang akan segan memukul buah hatinya, dan aku sudah berubah menjadi samsak pelampiasan emosinya sejak aku bisa berbicara. 


Mama juga tak jauh berbeda, aku ingat pahaku yang berdarah setelah mama menyabetku dengan sebuah gesper pramuka karena aku berbuat salah. Waktu umurku 10 tahun, kupikir itu tindakan yang biasa. Ku pikir memang sudah pantasnya aku dipukul karena aku buat mama dan ayah marah. Aku tumbuh dengan rumah yang bisu dan tuli, yang berbicara hanya lewat bantingan piring dan pukulan di sana dan sini.


Tapi aku juga ingat di suatu hari, setelah mama membentakku tak henti karena lagi-lagi aku buat mama marah, aku lihat mama menangis di atas kasurnya seorang diri. Aku menghampirinya tanpa berbicara, dan mama memelukku tanpa redakan tangisnya sepanjang malam. Mengucapkan kata maaf yang tak pernah aku dengar sebelumnya, membisikkan kata yang selalu ku ingat sampai saat ini. Mama meminta maaf kepadaku. Dan itulah satu-satunya harapanku kepada mama, bahwa mama masih menyayangiku sebagai anaknya. Bahwa suatu saat nanti, aku akan temukan mama mendekapku kembali seperti waktu itu.


Mama dan ayah bukan pendengar yang baik, bukan juga seorang pencerita yang menarik. Setiap sehabis menjemputku pulang sekolah dulu mama akan bertanya, "bagaimana sekolahnya hari ini?"


Dan pertanyaan itu selalu ku sambut baik, ku sambut riang sembari ku perkenalkan anak perempuan yang baru masuk di kelasku waktu itu. Aku akan terus berbicara panjang sampai akhirnya sadar bahwa ceritaku sudah tak lagi di dengar, bahwa cerita anak baru di kelas itu tidak mengesankan untuk mama, bahwa buku yang baru ku pinjam dari perpustakaan itu tidaklah penting bagi mama. 


Kalau ayah tidak begitu, ayah tidak punya banyak waktu. Sstiap harinya ayah akan pergi kerja, hingga aku hanya bisa bertemu ayah sesaat sebelum aku jatuh ke dalam lelap, sebelum berangkat sekolah, dan hari libur sekolah. Aku dan ayah tidak banyak berbicara. Dan hal itu sempat membuatku berpikir bahwa ayah tidak suka aku.


Aku berperan menjadi anak tunggal untuk waktu yang sebentar saja, tepatnya sampai aku naik ke kelas tiga. Lalu lahirlah seorang adik laki-laki yang banyak diberikan hadiah. Adik ini kecil sekali, aku tak berani menyentuhnya karena takut dia akan merasa sakit. Saat pertama kali mama memberi kabar bahwa aku akan punya adik, aku tak pernah merasa senang. Aku tidak mau punya adik, pikirku saat itu. Aku tidak mau mama menjauhiku, aku tidak mau ayah menjadi semakin jauh dariku.


Adikku tumbuh menjadi pribadi seperti aku, yang suka buat mama dan ayah marah. Adikku juga tumbuh seperti aku, dengan cubitan ayah dan suara tinggi mama. 


Dulunya kupikir wajar saja jika ayah dan mama kesulitan dalam membesarkan aku, karena aku adalah anak pertama mereka. Mereka baru saja menjadi orang tua, seperti aku yang baru saja menjadi manusia. Mereka akan banyak kurangnya, seperti aku yang masih perlu belajar tentang hidup dan segala maknanya. 


Namun adikku ini bukan lagi bahan percobaan mereka, tadinya ku kira ayah dan mama akan tau caranya bersikap lebih halus, berbicara lebih lembut, dan berkomunikasi sebagaimana manusia. Tapi yang kutemukan masihlah sama, teriakan yang mengisi rumah dan bantingan barang entah milik siapa.


Aku sudah habiskan waktu di tempat ini selama hidupku, dan aku kira aku sudah terbiasa. Namun nyatanya, aku tumbuh menjadi pribadi yang tidak bisa bertukar suara. Nyatanya aku tumbuh menjadi pribadi yang kasar sebagaimana aku takuti dulu. Nyatanya aku tumbuh menjadi seorang yang tak bisa mendengar maupun bercerita. 


Dan nyatanya aku masihlah anak perempuan penakut yang tak pernah didengar dari belasan tahun lalu.

Comments

Popular Posts