Panggung Jalanan
Duhai kekasih yang ada di belakang kota, bagaimana kabarnya?
Kekasih bekerja mencari nafkah diri sendiri, menyayat waktu dengan menghilangkan jati diri. Menangis. Hu-hu-hu. Terbahak jungkir balik. Ha-ha-ha.
Jadi petani berbaju compang-camping sambil bawa arit
Jadi guru pergi ke kelas jadi acuan semua murid
Jadi wartawan pergi berjalan-jalan demi dapatkan berita hangat mampu membakar mata yang jelalatan.
Duhai kekasih di penghujung negeri, apa kabar hari ini?
Berapa jerih yang terbayar? Berapa receh yang dapat ditukar?
Kekasih pergi lagi, kini jadi dokter dengan jas putih cantik sekali. Dokter baik hati yang menemani anak-anak yang umurnya tinggal menghitung hari. Dokter baik hati yang di tengah malam bawa jantung anak kecil yang telah mati.
Saban hari kala aku dalam perjalanan mencari arti, ku temui kekasih tengah berorasi. Berseru lantang menantang pecundang dalam koran, “Kami menuntut keadilan!”
Lalu kulihat kekacauan: batu yang terbakar dilemparkan kepada jendela yang memenjarakan, memancing amarah aparat yang bersiap siaga di depan. Mahasiswa lari kelabakan sebab gas air mata ditembakan. Kekasih hilang di gelombang kerumunan.
Kemudian di satu hari ku lihat kekasih bolak-balik membawa cemas. Bajunya elok saat ini, dengan permata serta mahkota emas. Hal apa gerangan yang dapat buatnya gemas? Ah, itu landak berduri yang mencuri lagi.
Comments
Post a Comment