Hati-hati di Jalan

Dulu kita melangkah, berlarian di atas tanah merah. Bersautan sampai suara kita terdengar di seluruh penjuru lapangan. Membangun pijakan untuk kaki kecil kita naik ke atas tanah yang berbukit. Mengambil sepotong ranting yang sudah patah untuk buat gambar tak sempurna di atas tanah yang masih basah, bekas hujan tak berhenti semalaman.

Berlarian mengejar dan berebut bola yang habiskan sungguh banyak tenaga. Atau mungkin sebatas susun batu sampai tingginya hampir setengah tubuh kita. Bermain masak-masakan juga pernah, dengan perlengkapan masak mainan yang ku beli hasil merengek kepada papa minggu sebelumnya, serta tanah basah, rumput ilalang, daun pohon mangga tetangga, dan air yang kita bawa dari rumah.

Dulu kita habiskan banyak tawa berdua,—atau beramai-ramai kalau tetangga dari rt sebelah datang untuk ajak main kita— banyak waktu yang kita habiskan bersama dengan penuh suka cita. Berceloteh tentang sekolah dasar impian yang ingin kita tuju, bertukar cerita tentang kartun yang kamu tak sempat tonton sebab mamamu ‘tak memperbolehkan, bertukar mainan baru, bermain dari pagi sampai petang yang pada akhirnya buat mama dan papa marah.

Terlalu banyak cerita yang kita lakukan bersama, di sini, di tempat dimana kita tumbuh dewasa berdua.

Di lapangan tanah merah yang tak pernah berubah, di pijakan kecil yang sampai sekarang masih ada, di rumah kosong yang kini sudah ada pemiliknya, di kebun singkong yang kini sudah rata.

Ada yang sama, pun ada yang berbeda. Yang berubah, salah satunya kita.

Rumah kita masih berhadapan, aku masih kerap kali lihat kamu saat tengah siram tanaman. Tapi teriakan yang biasanya memenuhi indra pendengaran mulai hilang, dari hanya sapaan kecil hingga sekarang yang tersenyum saja enggan.

Banyak yang berubah di antara kita, lantas datanglah perpisahan.

Bukan karena terpaut jarak, juga bukan karena adanya masalah.

Kita berpisah, karena sudah ‘tak lagi sama.

Kita berpisah, karena kisah ‘tak lagi ada.

Kita berpisah, karena waktu ‘tak menetap saja.

Kita berpisah, karena memang sudah tidak ada ‘kita’.

Lantas, hati-hati di jalan, ya?


a songfic by: tulus — hati-hati di jalan


Comments

Popular Posts