Dara
Dalam petang ku pergi menyelinap, dengan sepotong ubi rebus yang ibu habis masak. Dara yang di sana, sedang apakah ia? Tengoklah atma ini yang tengah ada di ladang cinta.
Dua mata ku dengan lancang pandangi elok sempurnanya, yang tak dapat dijangkau oleh aku si atma tak berharga. Lekat dengan nama anak dara yang melambangkan kemurniannya, Ambar Distiya Kusuma. Puan yang punya sejuta pesona, pikat sukma ini dalam belenggu asmara penuh dosa. Puan yang punya sejuta karisma, yang dengan apik buat sukma ini terjerumus dalam jurang gairah.
Untuk anak dara yang dicinta, berhak kah hamba beri sapa?
Dapatkah hamba lantunkan suara?
Mampukah hamba?
Khawatirnya yang tersua hanya berupa kalimat inkoheren yang mengganggu dara, sebab hamba tak ingin buang kesempatan yang ada.
Anak dara yang dicinta, maaf, nampaknya sampai sini dahulu waktu saya. Naas, gagal sudah usaha untuk tegur dara. Namun rupanya hamba masih punya banyak kerja yang bila tak diselesaikan malam ini akan bawa celaka. Dan celaka bukan terdengar baik dalam telinga hamba. Semoga pekan depan hamba punya sedikit lebih banyak waktu rehat, agar dapat setidaknya lihat anak dara lebih dekat.
Comments
Post a Comment