Manusia

Kenangan itu hampiri aku yang membisu. Terendam kepingan masa lalu yang tak henti serang aku. Aku yang berjalan di atas aspal jalan raya; menyebrang tanpa tengok kanan kiri buat kesal pengemudi. Tak tertabrak mobil truk pengangkut kayu di belakang wujudnya adalah hanya sebuah keberuntungan. Pemandangan sore itu sepertinya jadi hal menegangkan bagi masyarakat pengguna jalan. Terbukti dengan sayup-sayup teriakan yang tak terlalu masuk ke indra pendengaran ku sebabnya fokusku masih terbang entah kemana. 

Yang tadi bukan sebuah percobaan bunuh diri. Murni dari aku yang berjalan tak tau arah untuk sebatas tenangkan diri, naasnya hampir meregang nyawa. Mungkin tuhan masih iringi aku dengan sebutir keberkatan. Atau mungkin Tuhan belum rela ambil nyawa hambanya ini yang berjalan dengan tanpa setitikpun gairah. Karena mungkin Tuhan masih butuhkan aku sebagai tempat-Nya bersenang-senang.

Langkahku tak lagi diiringi kemaslahatan, hanya tersisa lembar-lembar tipis dari rasa kasihan. Hidupku ada di ujung tanduk kematian, dengan obat-obatan sebagai penenang. Manusia itu complex sekali. Entah mengapa Tuhan ciptakan hidup ini jadi amat rumit dimengerti. Mungkin jika aku dilahirkan sebagai awan, akan lebih mudah: hanya tinggal menunggu waktu untuk lautan penuhi aku dengan kelembaban lantas jatuhkan itu lagi pada para searakah yang tak tahu diri. Atau mungkin jika aku dilahirkan sebagai pohon yang hanya menunggu untuk beregenerasi. Tanpa perlu pikirkan hari esok harus bagaimana, hari esok harus lalui apa, tanpa harus cemaskan hidup yang tak ada habisnya. Hanya berdiam di tengah proses fotosintesis, menikmati alam yang meresap ke sari-sari.


Mungkin saja kan?


Manusia ialah perwujudan dari nafsu dunia, yang Tuhan dengan baik hati beri sedikit akal di dalamnya. Namun selebihnya hanya keserakahan dan tamak yang punya rupa. Dengan jutaan norma yang mereka catat sendiri, dengan jutaan laku yang mereka perbuat sendiri, lantas dengan tak tahu diri salahkan Tuhan yang maha pemberi. Tuhan adanya tak lagi jadi yang paling mulia, mereka yang cari nirwana dengan akal rusaknya. Menjalankan hari dengan segala buruknya, menjauhi Tuhan yang sempurna hanya untuk nafsu yang tak ada puasnya. Pakai dalih kebebasan yang tercipta. Jadikan dunia jadi ajang tempat ke-berengsekannya.

Tak mungkir, aku pun begitu. Koar-koar sana-sini mencari validasi, sesungguhnya hanya cari pembelaan akan hidupku yang jauh dari kata suci. Dengan nama Tuhan yang diagungkan di sana-sini, jadi topeng kesekian untuk aku yang terbakar dengan sabdaanku sendiri. Aku yang bawa nama Tuhan dalam diriku yang untuk berdoa saja enggan. Jadikan munafik jadi jati diri yang paling awam.

Tapi bukankah hidup memang begitu? Berjalan dalam kemunafikan untuk cari tempat teraman. Karena dunia yang menolak segala bentuk kejujuran. Sampai di sini di titik yang tak terkirakan; disayat benda tajam jadikan aku tumbal penyesalan. 

Comments

Popular Posts