Dan, selesai.

4 bulan lamanya, tak buat aku terbiasa dengan senyap di sekitar. Tak buat aku jadi manusia yang lupa rangkaian nada atau ritme musik orkestra yang terputar dari balik bangunan klasik belakang rumah kita.

4 bulan lamanya, hanya tinggalkan rindu pada aku yang rungunya tak lagi berguna. Sisakan memori dari lirik lagu pop yang tak dapat ku dengar lagi serunya. Butakan aku pada melodi penerbit seri di ujung hari yang tak sesuai ekspektasi; urai tawanya.

Urai tawanya yang terpatah dulu timbulkan kesan khas untuk aku yang bersembunyi lewat secarik kertas. Dari balik dinding pemisah kelas, lewat tembok yang berbicara akan kamu yang urai canda jenaka.

Dulu. Karena kini tak lagi sama. 

Tembok kelas masih berbicara, hanya aku yang tak dapat lagi tangkap suara. Bongkah bibirmu masih urai patah-patah hasil canda yang jenaka, hanya aku yang tak dapat lagi dengar gelak tawa. Karena kini suaramu tinggalkan aku yang tak berhasil sampai ke gelombang vibra. Tinggalkan aku di garis acuan mulai dalam posisi pertama.

Hidup dalam satu atap yang sama, tak buat dirimu acuh pada aku yang tinggal di belokan ujung kamarmu. Tak buat dirimu mau untuk sekedar bertegur sapa dengan aku lewat pintu itu. Hanya ada satu dengusan keras dan decakan dingin yang keluar tiap kali kita berpapas muka. Satu-satunya cara agar aku bisa dengar runtutan suara indahmu, yakni yang mengalir di udara lorong-lorong bangunan sekolah, yang tampaknya bahkan kini tak lagi berguna. Sebab runguku yang tak lagi punya cerita.

Kak, jika kita dilahirkan berbeda, apa kakak sudi untuk temani aku yang tercela?

Kak, jika tak begini keadaannya, apakah mungkin untuk kita buat jutaan cerita romansa?

Sudut pandangku selalu sama. Hanya menatap pada inti fokus yang menelan yaksa, yang terbang di antara fajar dan angkasa, yang meraup semua sari-sari hidup yang ku punya. Sudut pandangku hanya satu, hanya kamu yang indahnya selalu menusuk tepat di jantungku.

Lantas kamu bagaimana? Sudut pandangmu ada berapa? Adakah ada aku di salah satu sudut sisiannya? Jika ada, terbentuk jadi apa?

Apa jadi figuran lemah yang menggantung hidupnya?

Atau jadi sebatas hama kecil yang bisa dibasmi dalam satu hembus?

Bolehkah aku berharap sedikit lebih tinggi? Aku ingin ada di sana. Jadi pemeran utama dalam cerita. Menggenggam mu erat di tengah gelap gulita, bercumbu mesra di antara lautan asmara, berjalan bersisian denganmu yang serukan pada dunia akan ‘kita’.

Harapku terlalu jauh, mimpiku terlalu bebas untuk realita yang punya batas. Batas sosial yang mengamini doamu, dan mendoakanku untuk kembali ke jalan yang lurus. Tetapi aku selalu ada di jalan ini, tak pernah berubah sedari dulu, sebabnya tak ada yang dapat bawa perubahan terhadapku. Kecuali, mungkin kecuali, cacat ini yang tiba-tiba datang hancurkan aku.

Karena sayangnya kamu punya tamu, tamu yang lebih dahulu tempati ruang kosong di benakmu. Yang bertanggar elok tak dapat ku sentuh. Yang kau cumbu dalam pelukmu, yang kau tarik dalam sentuhan ringan gemulaimu, dan yang kau izinkan jadi satu-satunya penikmat candu di dalam dirimu.

Kak, satu windu kita bertemu, tak sanggup aku untuk hapus bayangmu. Meski dengan raut mu yang selalu datar sedari dulu, meski dengan tatap tak suka yang kau tujukan kepadaku. Tak gencar hal itu jadi alasan untuk hilangkan rasa yang ku punya untukmu.

Kak, maaf karena atas hadirnya aku hidupmu runtuh. Maaf karena atas hadirnya aku anganmu jatuh. Maaf karena atas hadirnya aku dirimu yang kecil tak dapat rasakan keluarga utuh.

Tapi kak, aku juga sama. Delapan tahun yang ku jalani sebelum terbongkarnya perselingkuhan papa, hidupku ungu. Perkelahian dan lemparan barang sana-sini jadi makanan sehari-hari. Karena kak, untuk apa pernikahan kalau kedua mempelai tak saling mencintai?

Papa hanya cinta ibumu. Kekasih hatinya yang harus dipisahkan perjodohan masa lalu. 10 tahun kehidupan pernikahan papa dan mama, sepenuhnya hanya skenario hidup belaka. Karena ternyata, selama itu pula papa punya kamu dan ibu di hidupnya, kan? Karena kalian tak pernah bisa dipisahkan dari papa. Karena kalian yang tantang dunia melalui kisah kelam yang disembunyikan, yang 9 tahun setelahnya terpaksa dibeberkan.

Bukankah harusnya aku marah di sini kak? Pernikahan mama dan papa sah baik hukum dan agama. Tercatat hitam di atas putih yang ditandatangani kedua belah pihaknya. Sementara papa dan ibu, bukankah mereka pengkhianatnya?

Harusnya aku marah kan kak? Hadirmu dan ibumu ke rumah ini yang tiba-tiba tepat setelah kepergian mama setelah 3 bulan perceraian mama dan papa, harusnya buat aku benci terhadapmu kan kak?

Kenyataan bahwa kamu dan ibumu yang buat masa kecilku tak seperti anak-anak di luar sana, bukankah harusnya buat aku simpan dendam terhadapmu, kak?

Sayang, si bodoh ini justru terjatuh. Terjerat jaring-jaring transparan yang menelanku ke kubangan.

Karena nyatanya,

Aku cinta kamu.

Aku cinta kamu yang faktanya anak hasil perselingkuhan ayahku dengan orang lain.

Aku cinta kamu yang hadirnya buat masa kecilku tak seperti anak-anak lain.

Aku cinta kamu yang cintai orang lain.

Miris.

Aku tergelak tertawakan hidupku yang terlanjur naas. Yang untuk memohon saja pun rasanya tidak pantas. Tuhan ciptakan aku di antara emisi dendam dan emosi. Dan kini, Ia berikan aku kelemahan lagi.

Pikirku kembali ke masa kini. Pandangi sungai dari atas jembatan tinggi. Jalanan lengang, tentu, ini pukul satu dini hari. Siapa juga orang waras yang akan berkeliaran di jam segini.

Perlahan aku pijakkan kaki pada pagar pembatas. Angkat seluruh bebanku dan bertumpu pada pijakkan yang lebarnya tak sampai satu jengkal. Diam dengan segala kekosongan menempu. Sunyi menusukku sampai ke ulu. Bahkan untuk sekedar dengar suara angin pun, aku tak mampu. Ah, lagi-lagi cacat pada runguku yang bertalu.

Kelopakku ku pejamkan. Tutup akses pada netraku yang sedari tadi sibuk tangkap gambar di sekitar. Tanganku ku rentangkan. Memanggil sendu untuk peluk aku yang kemalangan.

Satu.

Kaki kananku maju. Lepas dari pijakkan beton.

Dua.

Kaki kiriku menghampiri. Yang lantas buat badanku di tarik dengan kejam.

Tiga.

Dingin mengusik. Lebih tajam dari dinginnya udara di atas jembatan. Tertelan; menumpuk, lantas merobek paru-paru ku yang kepanasan.

Empat.

Aku tenggelam.


Comments

Popular Posts