my pace

Pemuda bergaun biru duduk terpangku, ratapi bumantara yang masih betah mengabu. 

Hela napasnya berat, jelas tandakan ia yang penat. ia hanyalah satu dari beribu jiwa yang tengah dikalahkan nasib. yang hidupnya dibabat habis oleh budaya dan intensitas lumrah yang masih jadi prinsip. 


Jadi yang ganjil tak pernah menyenangkan. yang dipandang sebagai tak lazim dalam lingkungannya jelas berkebalikan dengan penduduk yang punya kebiasaan. 

Perlukah ia jadi konvensional agar dapat diterima? sebab dirinya yang dicaci sebagai anomali cukup buat sedikitnya beri guncangan pada diri. 

Bisakah dia katakan bahwa "berbeda tapi satu" yang jadi semboyang bangsanya, hanya ucap semata? karna nyatanya jadi individu terbuka di tengah padatnya persepsi yang tua, masih jadi yang paling hina. 

Lantas kemana perginya kesatuan yang dijunjung tinggi-tinggi? apakah hanya sebatas ada di atas speech yang isinya dibuat untuk cari suara? atau hanya sebatas ketik yang tertulis atas nama norma?

Comments

Popular Posts