Bunda ditarik tenggelam jingga.
Biantara itu anugrah. Itu kalimat yang selalu Bian dengar semasa hidup sang ibunda dari bibir tipis miliknya. Bagai nyanyian merdu melodi candu lagu dari penyanyi papan atas yang kerap kali tampil di layar kaca, demikian pula lontaran kata tersebut yang selalu menyelimuti telinganya, lantas terbenam dalam hati Biantara. Biantara tak pernah berhenti bersyukur atas adanya sang ibunda, 15 tahun hidupnya tak pernah sekalipun bunda biarkan dia kecewa. Biantara juga tak pernah keluhkan orang tuanya yang tak lengkap. Buat apa? Cukuplah dia ditemani sosok ibunda yang selalu me-megang dia dengan erat. Toh harinya masih tetap istimewa, senyumnya tetap merekah diselimuti bahagia.
Sayangnya nestapa tetaplah ada. Tak pernah pandang warna. Maka Tuhan ambil sang ibunda kembali ke pangkuan-Nya, tinggalkan Biantara tepat di hari ulang tahunnya. Biantara yang tak pernah rasakan kehilangan sebelumnya. 15 tahun hidupnya bunda jaga dia dengan terlalu rapih, tinggalkan dia yang tak terbiasa sendiri akhirnya ringkih.
Dan Biantara hanyalah seorang remaja naif. Yang bertingkah pongah nyatanya masih amatlah payah. Apa mau dikata, 15 tahun hidupnya selalu ditemani sang ibunda, lantas harus bagaimanakah ia kala bunda hembuskan napas terakhir di depan mata kepalanya? Dia hanya bisa duduk terdiam di bawah bangku ruang tamu, dengan bunda di sampingnya yang tak lagi ada denyut nadinya.
Dia baru duduki jenjang kelas 3 sekolah menengah bawah, apalah jadi hidupnya nanti? Akankah jadi seperti orang-orang yang cari biaya hidupnya di tengah lampu merah? Atau luntang-lantung kesana-kemari sebab tak punya arah?
Ah, syukurlah dia, rumah ini sudah jadi hak milik tetap atas nama sang bunda. Setidaknya dia tak perlu repot pikirkan masalah tempat tinggal. “S-E-T-I-D-A-K-N-Y-A”. Tapi apa tau biantara? Dia tak peduli milik siapa rumah ini, tak peduli jika suatu hari ada orang bank yang datang tagih cicilan rumah yang ditinggalinya 15 tahun ini.
Isaknya berhasil dengan apik buat tetangga yang datang bantu pemakaman sang bunda pandang dia empati. Apalah kata jingga yang sedang asik berseri di tengah kota, apalah pula kata kalender di atas meja yang tengah bersorak-sorai rayakan hari lahirnya. Yang Biantara tau kini hanya ibundanya yang sudah tidur dalam liang lahat penghantarnya ke surga. Yang Biantara tau ialah hanya tentang hari esok di mana dia akan terbangun tanpa pemandangan sang ibunda yang asik memasak sarapan pagi.
Siapa peduli akan anak remaja yang kini tengah bermuram murja di pojok kamarnya? Siapa peduli akan satu jiwa yang kini hilang di tengah lamunannya? Siapalah yang hendak rela peduli sementara diri mereka sendiripun punya entahlah apa yang tengah dilalui.
Malang nasib si anak kota, tinggal sendiri di antara kejamnya bentala. Tubuhnya ter-benam dalam peluk nestapa, disunyikan ruang kamar yang tak punya suara. Harus bagaimanakah dia? Hidupnya berubah dalam sekejap baskara yang tenggelam di langit jingga. Dari yang dulunya biaya hidup dinafkahi, sekolah dibayari, ingin makan dimasaki, uang saku diberi, ingin ini itu dipenuhi.
Kini harus bagaimanakah dia? satu-satunya yang ia punya kini sudah dicumbu lembut tanah merah. Di bawah gundukan tanah yang masih basah, di bawah ukiran nisan yang rupanya sungguhan indah.
Maka di sinilah Biantara sendiri. Diiringi melodi rintih yang mengais hati.
Comments
Post a Comment